Karet oblong Tjipetir yang berada di laut diduga
berasal dari kapal pada perang dunia ll
Temuan sebentuk benda berbentuk persegi dengan tulisan 'Tjipetir' di pantai-pantai Eropa selama beberapa tahun terakhir memunculkan pertanyaan tentang asal usul benda tersebut. Sejumlah teori yang belum bisa dipastikan kebenarannya pun bermunculan, tapi satu yang pasti benda itu berasal dari Indonesia. Tepatnya dari sebuah perkebunan yang dikelola oleh PTPN Sukamaju VIII bernama Kebun Sukamaju di Desa Cipetir, Cikidang, Sukabumi. Benda yang terdampar hingga ke Eropa itu disebut dengan gutta percha. Pabrik Gutta Percha Cipetir, Jawa Barat, sebelumnya dimulai dengan penanaman kebun biji gutta percha pada tahun 1885. "Gutta percha berasal dari bahasa Latin Palaquium Oblongifolium, masyarakat Cipetir menyebutnya sebagai Karet Oblong. Konon katanya berasal dari Brazil," kata Kepala Administratur Kebun Sukamaju, Budhi Herdiana, kepada BBC Indonesia.
Keluarga Friederike Wegert menemukan lempeng
karet bertulis ''Tjipetir'' di Pulau Borkum.
Namun tanaman ini sejak dulu sudah tersebar di pulau-pulau Sumatra, Kalimantan dan Semenanjung Malaya. Hal ini menyebabkan nama latinnya berbeda-beda seperti Palaquium Sumatranensis, Palaquium Bornensis, PalaquiumMalayansis. Awalnya, tanaman dikelola olehKebun Raya Bogor sebelum pemerintah Belanda mengambil alih kebun ini di bawah naungan Lands Caoutchouch Bedrijf (LCB) yang merupakan BUMN milik Belanda.
Pelapis kabel bawah laut.
Seorang pakar sejarah produksi komoditi dari Universitas Leiden Belanda, Dr. Ulbe Bosma, mengatakan gutta percha dulu digunakan untuk insulasi kabel telegraf. "Gutta percha pertama kali ditanam di Kalimantan oleh Suku Dayak yang kemudian menjualnya kepada pedagang Bugis. Oleh para pedagang gutta percha dibawa ke Singapura. Namun bagaimana ceritanya perkebunan itu bisa kemudian berada di Pulau Jawa adalah sebuah keajaiban bagi saya, yang jauh lebih besar dari reruntuhan kapal di dasar Laut Selatan yang menumpahkan muatannya," kata Ulbe kepada BBC Indonesia melalui email. Fakta sejarah itu juga disampaikan oleh Budhi Herdiana yang mengatakan gutta percha digunakan untuk insulasi kabel teknologi komunikasi di bawah laut. "Jaman dulu belum ada handphone. Belakangan kemudian digunakan juga untuk pelapis bola golf dan alat-alat medis, seperti untuk organ tubuh buatan, kaki, tangan dan gigi palsu, dan sebagai bahan untuk menambal gigi. Gutta Percha kemudian diekspor ke Inggris, Jerman, Italia, Jepang, Irlandia, Amerika Serikat pada jaman Belanda," kata Budhi Herdiana. Kisah tarian kuda Pabrik yang usianya sudah lebih dari 100 tahun itu juga menyimpan berbagai kisah kenang-kenangan dari masa lalu.
Pabrik yang berada di Sukabumi, kini hanya
memproduksi karet jika ada pesanan.
Salah satunya cerita orang-orang tua di desa Cipetir bahwa pabrik pernah dirusak oleh pejuang kemerdekaan Indonesia karena kepemilikan Belanda, meski kemudian dibangun kembali. Cerita lain tentang seekor kuda penarik batu penggilingan yang tidak mau bergerak sebelum disuguhi tarian khas Jawa Barat Nyi Ronggeng. "Di pabrik kami ada gilingan atau alat penggilas, yang satu setnya terdiri dari 2 batu besar, 1 batu besar beratnya 4 ton. Waktu itu alat transportasi belum secanggih sekarang. Pada jaman pemerintahan Belanda batu penggilingan diangkut dari pelabuhan ke pabrik Cipetir dengan menggunakan pedati yang ditarik kuda, pada saat pengalihan batu dari Cibadak ke Cipetir yang berjarak 12 km, kuda itu tidak mau berjalan. Berdasarkan cerita orang-orang setempat, ada saran untuk disuguhi tarian Nyi Ronggeng supaya kuda mau berjalan," kata Budhi. Dari desa kecil di Sukabumi hingga terbawa ke pesisir Eropa, ahli oseanografi Curtis Ebbesmeyer yang mendalami tentang benda-benda terapung di laut mengatakan papan Tjipetir kemungkinan sudah terhempas ke pantai selama puluhan tahun. "Berdasarkan temuan hingga saat ini, papan itu jelas sudah berada di sirkulasi laut dunia. Hanya perlu 25 tahun untuk sebuah benda mengelilingi laut dunia dan papan ini kemungkinan sudah berada di laut cukup lama sampai bisa mengelilingi dunia tiga kali," kata dia.
No comments:
Post a Comment